Hingga Allah memilah cinta-Nya untukmu



“Cinta  tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian. Atau mempersilahkan , itulah pengorbanan.”

Hingga  Allah memilah cinta-Nya untukmu


Naura Dzahbiya, 02 mei 2015
Ya Allah..... dia dihadapanku, menatap mataku, kenapa hati ini berdegub sangat kencang. Aku takut , ia mengecup keningku. Ya Allah... aku takut membuka mata ini,  dahiku mengerut. Tangan mengepal baju pernikahan ini. kenapa aku masih setakut ini. sepertinya ia mengerti ekspresi wajahku. Tangannya dengan lembut memaksa mataku untuk terbuka, ia tersenyum. Lalu tertawa sambil tersenyum tipis  “knapa ra?”. Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Mungkin mukaku sudah seperti kepiting rebus, dari tadi. memang tak ada siapapun disini. Hanya kita dalam  pantauan-Nya. Namun sifat pemaluku ini sungguh mengerikan. Tanganku enggan menarik tangannya ketika kita berjalan menyusuri pantai, mesti dia yang menggenggam tanganku. Lidahku terlalu kelu berbicara dengannya, jadi mesti dia yang memulai mencairkan suasana. Namun tak ada wajah marahpun terlihat. Ia memahamiku, mengerti perasaanku, dan aku mulai mengerti tentang dirinya, pesonanya, kelembutan hatinya, dan kebijaksanaannya. Dan aku mulai mengerti apa alasan Allah mempertemukanku dan mengikatkan tali yang kuat itu diantaraku dan dia.
Hari kedua setelah hari pernikahan itu, masih sangat canggung. Kenapa ia masih  terus memerhatikan setiap gerak-gerikku. Ketika  aku menyisir rambutku. Ketika aku  memasak makanan untuknya, ketika aku membaca kalam-Nya. Ia melihatku dan memperhatikanku. Seakan aku  aneh bagi dirinya. Aku semakin memahaminya. Bagaimana dirinya. Meski cinta itu belum tumbuh namun kenyamanan bersamanya,  yang meningkatkan ketaqwaan diri. Lewat kelembutannya, juga ketegasaannya. Lewat candaannya juga tanggung jawabnya. Allah sembuhkan luka dengan begitu cepat dari dalam diriku, ia berikan sosok yang lebih baik dan mengabulkan do’aku. Ia datang disaat yang tepat. Aku mulai menatapnya sebagaimana ia menatapku, aku mulai tersenyum padanya seperti ia  tersenyum padaku. Bila memang cinta itu belum tumbuh, tapi mengapa bunganya sudah tercium harumnya, buahnya sudah manis terasa. Cinta halal yang bersemayam dalam dasar hatinya , disuburkan dengan kata iman. Yang akarnya kuat di  dalam tanah, batangnya kokoh di atas bumi, rantingnya menjulang menyapa udara, daunnya lebat menyejukkan mata, buahnya manis memanjakkan lidah, dan bunganya indah merekah bersama anugrah.
Aku menunggunya pulang, sudah jam  sepuluh malam, tak biasa ia belum pulang. Teh yang kubuat sudah dingin. Makanannya juga sudah tak hangat. Aku menunggunya, mataku mengantuk menunggunya di ruang tengah, sambil  membaca buku-buku bacaannya yang tersusun rapi di lemarinya. Buku-buku berat” fifkirku dalam hati. Ia memang senang menyelami lautan ilmu, jelas sekali dalam perilakunya, dan perkataannya. Cerdas dalam bersikap. Aku menemukan sebuah buku, indah sekali judulnya, tak seperti buku-buku beratnya yang lain. Buku ini tidak menjelaskan tentang fiqh, atau ushul fiqh, atau dakwah, atau pemikiran islam atau tafsir dan juga bukan buku hadits. Ini buku sastra, yang terselip diantara buku-buku beratnya. Benarkah ini miliknya?, kubaca judulnya “Moshaict ukhuwah  dalam hembusan angin”. Aku mengenal penulisnya, aku tau siapa dia. Kucari nama penanya, Alvian Razi  .Yaa benar, itu benar dia. Bagaimana aku tak mengenalnya. Air mataku menetes , entah kabut kesedihan itu menyebar tiba-tiba dalam pikiranku teringat nama itu. Yang namanya bersanding denganku dalam edaran undangan pernikahan sampai H-10 hari ia membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang . tiba-tiba ia meminta maaf lalu membatalkannya. Semua pihak keluarga kecewa dengan berita itu. Karena tak ada sebab khusus dia membatalkannya. Termasuk aku yang sangat kecewa dengannya, menyakitkan hatiku. Namun prasangka itu terhapus  dihari sesudahnya Allah memanggilnya. Memisahkan  jarak ruhnya dengan dunia. Aku lebih sedih mendengar hal itu, rupanya Allah lebih mencintainya, dan merindukannya. Yang aku sesali adalah tak kubalas pesan maaf terakhirnya, karena diriku yang terbawa prasangka dan perasan kecewa. Bagaimana tidak Allah mencintainya, ia meninggal di hari jum’at setelah sholat subuh saat ia melantunkan kalam-Nya. Begitu indah Allah memanggilnya kembali.  Menambah deras air mataku mengingatnya. Sudahlah,.... hari kesedihan itu sudah berlalu. Allah memberikan hikmah yang luar biasa setelahnya, menambah keyakinan  cintaku pada-Nya. Ia ganti sesosok suami  yang luar biasa, tiba-tiba. Sugguh  begitu cepat seminggu setelahnya dengan persiapan yang sepertinya sudah terencanakan. Yang tak pernah kuduga bahagia itu terselip bersama kesedihan itu. Sosok yang belum pernah kukenal, namun sepertinya ia sudah banyak mengenalku. Meski  hanya dugaanku saja. Tapi...... bisa jadi ia  sudah lama mengenalku. Dan kenapa buku ini ada disini. Apakah mereka saling kenal, aku tak yakin ungkapan rasa terimakasih yang tertulis dalam buku ini untuk suamiku, karena namanya yang sama “M. Lutfi” . bisa jadi begitu, bisa jadi tidak. Buku tentang ukhuwah ini, mungkin kenangan darinya. Tapi bagaimana bisa?. Seperti ada sebuah rahasia yang terselubung.
                                                                              ***
Naura teranyut dalam buku itu “Moshaict ukhuwah”. Ia tertidur karena lelah membacanya, dan waktu semakin malam. Suaminya juga belum pulang. Dengan buku  ditangannya ia tertidur diatas soffa ruang tamu, dan dengan sedikit air mata yang tersisa di matanya. Suami sholeh itu pulang jam 11, ada kecelakaan di jalan yang membuat jalan begitu macet dan berhenti total lebih dari dua jam lamanya. Dengan perlahan ia membuka pintu setelah mengetahui istrinya sudah terlelap tertidur di shofa. Ia tersenyum, ada seseorang yang menunggunya dari tadi rupanya. Ada kesyukuran mendalam dalam hatinya. Meski ia ingin sedikit ngobrol dengan istrinya, ada hati tak enak membangunkannya. Ia periksa dapur yang sudah siap dengan makanan yang tersaji. Juga teh yang sudah tak hangat. Sekali lagi ia tersenyum penuh kesyukuran, seseorang yang ia cintai sudah lama menunggunya. Ingin membangunkannya sekedar melihat senyumnya,  namun tak enak hati. Luthfi  membawa teh itu ke ruang tengah, mungkin lebih manis jika sambil menatap wajah istrinya. Ia duduk dibawah bersandar pada kursi yang  menghadap kursi dimana tempat Naura tidur. “Benar, tehnya terasa lebih manis”. Fikir luthfi dalam hati. Seakan detik terlampau panjang dan dalam. Ada sesuatu yang digengam naura terjatuh , sebuah buku. Luthfi hafal benar dengan covernya, tulisan sahabatnya Alvian. Sahabat yang luar biasa. Bukan juga sekedar sahabat tapi adalah saudara baginya dalam iman. Bahkan ia sungguh menyayangi sahabatnya ini melebihi dirinya sendiri, dalam iman....... buku itu kenangan indah yang berisikan ukhuwah indah dan kisah yang sungguh bermakna, moshaict ukhuwah. “Alvian  kenapa kau bersikap bodoh, kawan”. Naura terbangun mendengar kata-kata itu. Segenggam tanya dalam hatinya . kenapa??. Ada apa sebenarnya?.
                                                                          ***

Sebulan yang lalu
Alvian datang terburu-buru ke masjid tempat Luthfi mengajarkan Al-Qur’an. Seperti ada kesal dalam hatinya. Vian sangat terburu-buru. Ia menemukan sosok Luthfi disudut masjid sedang membaca mushafnya.
“Assalamualaikum ” Salam Vian mengagetkan Luthfi.
“Waalaikum salam wr wb, masya Allah...Vian khaifa haaluk?” tanya luthfi dengan senyum tipisnya.
“Ana gak sebaik yang antum kira Fi” jawab Vian .
“Loh knapa yan, bukannya sebentar lagi antum akan berbahagia dengan status baru” jawab Luthfi agak heran.
Vian memberikan undangan itu pada Luthfi dengan wajah yang serius. Luthfi mengambilnya. Sambil berbicara heran “ Ana udah dapet undangannya yan”.
“Antum tau kan siapa , yang bersanding dengan nama ana  disitu?” tanya Vian
Luthfi hanya mengangguuk. 
“Ana udah anggap antum saudara ana sendiri fi, kenapa antum gak cerita ke ana tentang Naura, antum sudah lama ingin melamar dia kan, kenapa antum gak cerita?, kalau ana tau ana gak  akan khitbah duluan .!!! kenapa harus ana yang nyakiti perasaan antum, saudara ana sendiri” dengan nada  yang keras sedikit.
“shutt,.... kecilin suaranya di masjid nih, sebentar coba kita dinginin dulu masalahnya” Lutfhi dengan senyuman dan sabarnya menggiring sahabatnya itu ke tempat sebelah masjid agar tak menggangu jamaah lain.
“Antum dengar dari mana sih yan, antum salah paham ” jelas Luthfi dengan suara merendah menjernihkan suasana.
“Ana bener-bener tau gimana sifat ente fi, Antum itu terlalu baik. Berita ana itu valid dan ada buktinya. Kenapa  anta ngorbanin perasaan sih, demi sahabat yang gak jelas kayak ana nih. Antum pasti sakit hatikan, tapi antum tutup-tutupi makanya antum sangat-sangat sibuk akhir-akhir ini. sengaja kan antum!!. Supaya antum lupa dengan kesedihan antum!!.” Vian menegaskan.
Luthfi hanya tersenyum, “Antum terlalu mendramatisir Yan, ana gak papa. Gak sesedih yang antum kira”. Luthfi balik menegaskan.
“Kalimat itu yang buat ana semakin sedih  Fi, knapa harus ana  yang buat antum sedih. Ana gak  bisa nyakitin hati antum. Ana ngerasa dzalim sama saudara ana sendiri. Ana bisa minta batalin pernikahan ana. Dari pada ana ngerasa berdosa seumur hidup”.
“Astagfirullah jangan Yan, harinya sudah dekat. Semuanya sudah siap. Antum mengecewakan banyak orang nanti, dan buat prasangka yang buruk terhadap antum”. Nada luthfi agak meninggi.
“Atau nanti antum gantikan posisi ana akh, itu lebih baik. Lebih adil menurut ana” tegas Vian
“Ya, gak bisa gitu Yan, pernikahan itu sesuatu akad perjanjian agung, gak bisa sembarangan begitu . belum tentu keluarga Naura menerima ana. Sudah.....tenangkan hati antum. WALLAHI ana ridho. Antum gak usah khawatir. Ana bahagia ketika antum bahagia” jawab Luthfi dengan keyakinannya.
“ Ana  gak tau harus gimana akh, karena antum terlalu baik makanya antum begitu kan?. Antum berkorban sebegitu besarnya” Dengan isakan Vian berkata tak tega pada sahabatnya. “nanti antum gimana Fi?”
“Antum kira ana gak bisa move on akh, wanita sholehah itu banyak. In sya Allah seminggu setelah antum nikah ana akan nikah. Antum percaya kan sama tekad ana?” tegas luthfi yang sebernarnya memerangi batinya agar meyakinkan sahabatnya.
Alvian terkulai lemas mendengar kebesaran hati sahabatnya itu. Ia mengagguk perlahan . terduduk sambil terdiam lama. Dalam diam dia meminta ampun Rabb-Nya. Menutup matanya sebentar dan menguatkan dirinya. Luthfi menepuk lengan sahabatnya dengan senyuman tegasnya. Agar semakin meyakinkannya. Alvian kehabisan kata-kata jika bertemu dengan sahabatnya ini. Meski dia adalah seorang penulis dan satrawan, namun keteguhan hati luthfi menghempas susunan kata dalam lisannya. Alvian undur diri dalam keadaan yang masih mengambang, tak sanggup ia mengajaknya datang dalam pernikahannya sedangangkan Alvian tau bahwa wanita yang disandinggnya adalah wanita dalam do’a sahabatnya. Karena sebab-sebab tertentu ia  belum sepat melamar Naura, padahal segala sesuatu sudah dipersiapkan. Alvian melaju kencang menghempas angin dengan motornya. Dimana tempat yang ia tuju , ia sempat melupakannya. Masjid  tempat yang akan dipakai untuk hari penyerahan janji itu. Serasa suram dengan rasa bersalahnya, namun ini tempatnya. Ia bermunajat mengharap jawaban dari kegelisahannya. Disini ia habiskan pagi dan petangnya hingga malam-malam nya. Termenung dalam dzikir panjang disudut ruangan. Sebelum mengakhiri nafas terakhirnya.
                                                                               ***

Luthfi tak mengerti  surat  apa yang diberikan Alvian yang dititipkan oleh salah seorang marbot masjid di tempatnya mengajr Qur’an kepadanya. “Mungkin Alvian tadi kesini namun tak menjumpaiku”. Pikir Luthfi, ia belum membacanya, mungkin undangan lain. Namun ia merasa harus bertemu dengan kawan baiknya itu. Motornya melaju di kerumunan jalanan kota , hingga masuk di komplek tempat tingal Alvian. Begitu ramai, dan banyak kendaraan memadati jalan komplek. Hingga sampai ke depan rumah Alvian. “Apa acaranya dimajukan” siluet pikiran itu. Namun bendera kuning berkibar di tiang  rumah sebelah, ketika diperhatikan yang ramai di rumah Alvian. Luthfi mempercepat langkah, entah jantungnya berdegup kencang meski tak ada bayangan apapun dalam fikirannya. Ia melihat wajah Ibu Vian sembab, adiknya memerah wajahnya penuh tangisan. “Ada apa sebenarnya”. Tanya dalam hati. Tapi jawaban itu segera tiba, ada tangan yang menyentuh pundaknya ,ia menoleh dan ia temui Ayah Vian dengan wajah kepedihan. Luthfi terheran dengan ekspresi itu, “Jangan”. Teriak luthfi dalam hatinya. Tangisan ayah Vian memuncak sambil menatap wajahnya, Ayah Vian memang sudah menganggap Luthfi sebagai anak keduanya seperti Vian karena muka mereka memang sedikit mirip, hanya  Vian lebih tinggi beberaapa cm dari Luthfi . “Viankah?”. Tanya Luthfi dalam hatinya. Langkahnya tertatih menuju jasad yang dibalut kain, berat tangannya membuka kain itu. Tubuhnya lemas melihatnya. Ia tak sanggup berdiri sejenak, kepalanya berat, matanya berkunang. Ayah Vian yang lebih terlihat tegar sekarang membantunya berdiri dan menuntunnya ke kamar Vian. Kepalanya masih berkunang , kalimat dzikir yang menguatkannya. Ia mendengar detik-detik terakhir keluarganya bersama Vian. Air matanya tak bisa tak turun meski ia tahan sedari tadi. Luthfi yang berhati lembut ini hanya terdiam dalam dzikirnya. Terhenti dalam dzikirnya. Hingga pemakaman selesai, ia bantu Ayah Vian menjamu Tamu jauh, keluarga mereka. Juga ada keluarga Naura disini. Ayah Naura memeluk Ayah Vian menenangkannya, Namun tak ada Naura. Luthfi memikirkan kesedihan wanita Solehah  calon istri saudaranya itu. Mungkin ia tak sanggup memunculkan dirinya di luar. Umi Naura bersalaman dengan Ibu Vian. “Maaf bu, Naura sakit jadi gak bisa datang”. Jelas Umi Naura lembut dengan lirihnya. Jelas sekali terlihat dari  keluarga Naura, membuat setiap hati tak tega melihat kejadian ini.
Sudah agak sepi Luthfi pamit pulang ke rumahnya, meski ia tak pulang. Ia mampir di sebuah masjid besar tempatnya mengajar. Hanya pada Allah ia tumpahkan kesedihannya, tidak pada keluarganya di rumah,  juga temannya yang lain. Di tempat ini berharap Allah  menyelipkan pemahaman untuknya, juga menguatkannya. Langkahnya pelan menuju tempat wudlu ia teringat kata Ayah Vian"  terakhir Vian cerita ke Ayah setelah dia memberi alasan pembatalan pernikahan ke ayah via Telpon, dia cerita tentang kamu Fi. Dia bilang ‘Luthfi sudah ayah anggap sebagai anak sendiri kan Yah, jika luthfi menikah  . Ayah bisa bantu Luthfi kan. Dengan siapapun, meski dengan Naura sekalipun’. Pertama Ayah tidak mengerti , namun akhirnya Ayah mengerti bahwa ada sesuatu diantara kalian yang mengganjal di hatinya”. Air matanya menetes dengan buliran Air Wudhu yang menetes. Ia melangkah menuju masjid atas sambil terngiang kata–kata Ayah Vian terkahir sebelum ia pamit meninggalkan rumah itu “Ayah merestui kalian , dan berbahagi menanti hari itu, bangkitlah Nak dan songsong kebahagiaanmu”. Luthfi berdiri  “Bisakah aku berbahagia setelah aku kehilangan sahabat  dekatku yang kehilangan nyawanya karna terfikirkan kebahagianku” terdiam sejenak sebelum ia laksanakan sholat tahiyyatul masjid  menahan isakannya dan melaksanakan sholatnya, “Ya Allah, hanya padaMu aku mengadukan kesedihanku”. Di dalam do’anya terpanjat permohonan terdalamnya. “Ya Rabb” sambil meneteskkan air mata yang tak bisa terbendung. “jika engkau ambil sahabatku, salah satu hamba terbaikMu yang selalu  berjuang bersamaku meraih ketaqwaan untuk meraih ridho-Mu, hamba takkan menuntut, hamba tak tau apakah ini rahmat ataupun musibah. Hamba hanya berbaik sangka padaMu bahwa engkau akan mengganti dengan yang lebih baik disisi-Mu”. Itulah Luthfi dengan kesholehannya, ia kembalikah sedihnya  hanya pada pencipta hatinya. Berharap bahagia dan selalu ridho dengan segala ketentuanNya.         
Kabarnya tersebar. Kabar pernikahan Alvian dengan Naura tlah tersebar luas. Namun kabar kepergian Alvian lebih luas adanya. Semua jejaring sosial memberitahukan tentang hal itu, di smua grup whatsapp. Semua teman, keluarga , bahkan orang lain yang tak mengenalnya tersedu mendengar berita kematian Alvian seminggu sebelum hari pernikahannya. Meski pernikahan itu sudah Alvian gagalkan sebelum kepergiannya, dengan meminta maaf dan menghubungi semua keluarganya juga keluarga Naura kecuali Naura sendiri. Ia hanya meminta maaf tanpa memberikan alasannya. Semua pihak keluarga kecewa dengan keputusannya itu, namun ketika hari berganti kekecewaan itu menyisakkan rindu. Pada setiap relung yang pernah merasakan kehadirannya. Kematian Alvian di hari Istimewa menjawab semuanya, dengan bersujud di rumah-Nya. Sungguh indah kematian itu. Yang dirindukan oleh setiap manusia. Kesedihan itu menghujani Naura, kesedihan yang berlipat namun tergabung dengan ketegarannya. Ia tak marah   ataupun kesal dengan sikapnya, namun ia iri juga rindu dengan sosok belum pernah yang ia kenal itu.  “Tidak” bisiknya dalam hati “Bahkan bidadari pun rindu ingin melayaninya, maka siapalah aku. bahkan  malaikat rindu mencabut nyawanya, juga Allah rindu ingin bertemu dengannya”. Lirih Naura menghibur lukanya yang perih “Betapa manis imannya”. “Ya Rabb” sambil meneteskkan air mata yang tak bisa terbendung. “jika engkau ambil  salah satu hamba terbaikMu yang akan berjuang bersamaku meraih ketaqwaan untukMu, hamba takkan menuntut, hamba tak tau apa ini rahmat taupun musibah. Hamba hanya berbaik sangka padaMu bahwa engkau akan mengganti dengan yang lebih baik disisiMu”. Ketegara bukan berarti memutuskan untuk tidak menangis. Ia sebab penguatan hati seorang wanita yang diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.
Do’a yang selaras menggambarkan hati yang bersymfoni. Do’a itu  terkabul.  Seminggu setelah pengurusan jenazah Alvian selesai, Pak Hasan ayah dari Alvian datang ke rumah Naurah. “kedatangan saya kemari ingin melamarkan anak saya untuk Naura”. Jelas Pak Hasan membuat kaget seisi rumah Naura, “tapi bukan Alvian, tapi untuk anak kami Muhammad Luthfi El-kahfi , dia sudah kami anggap sebagai anak kami”. Ada hati yang berdegup kencang .ia yang duduk di samping Pak Hasan mengenakan kokok merah yang terutunduk malu juga pasrah atas jawaban dari Keluarga Naura. Luthfi hanya tertunduk tak sanggup berkata. Namun entah perasaan Abi Naurah sungguh mantap dengan pemuda yang berada dihadapannya. Ia mengenalnya. Putra  Temannya dahulu yang  sudah tak pernah ia temui. Ayah Luthfi pernah dekat dengan ayah Naura saat ia masih di Pesantren. Setelah ayah Luthfi meninggal, Luthfi pindah . Nama Luthfi juga sudah dikenal banyak orang lewat prestasi-prestasinya. Dan Sekarang ia banyak diundang di masjid–masjid mengisi ceramah meski ia baru menyelesaikan S1 nya. Dan usianya tergolong muda. Dua keluarga itu saling bersepakat.  Dan dua hati itu saling berdekap kembali . setelah sekian lama tulang rusuk itu terpisah dari raganya.
                                                                                      ###  
Malam itu ada yang mengganjil di hati Naura , kata-kata Luthfi tentang Alvian yang membuatnya gelisah. Ia tak bisa tidur memikirkan hal itu, ia pandang wajah suaminya yang sudah tertidur di meja menghadap dirinya. “Raut wajah setenang ini, tak mungkin aku bertanya dengannya, aku tak memiliki keberaian, jika memandang wajah aku tak bisa berkata apa-apa” Naura hanya bisa bergumam dalam hatinya.
Dua minggu perasaan itu masih mengganjil dalam fikirannya. Meski sejak seminggu yang lalu ia memberanikan diri bertannya pada suaminya. Namun tak ada respon, dan suasana menjadi beku. Naurah takut bertanya tentang itu lagi, namun perasaannya masih tak karuan. Beberapa bayangan kejadian menghantuinya. Luthfi tak bisa menjelaskannya permasalahan itu, ia tak menyangka, suara  yang terdengar hanya terakhirnya saja sedang suara hatinya tak terdengar. Ia  tak bisa menceritakan kejadian itu, pasti tidak. Ada alasan yang tak bisa ia ungkapkan meski dengan aksara dalam tulisan. Luthfi tak bisa mengungkapkannya.
Puncak emosi yang meluap yang tak diunggkapkan oleh kedua insan di rumah ini, menjadikan suasana menjadi tampak sangat beku. Luthfi dalam puncaknya tertahan emosinya, saat itu tawaran beasiswa S2 Madinah ia tanda tangani tanpa persetujuan Istrinya. Luthfi  menyesali perbuatan cerobohnya itu tanpa mempedulikan perasaan istrinya. Namun ia terlanjur menandatangi surat perjanjian itu. Naura tak bisa membohongi dirinya, ada perasaan sakit itu, ketika ia akan ditinggal bertahun-tahun oleh suaminya, dan ia sendiri di rumah itu. Ia membantu mengemasi barangnya, tanpa berbicara apapun. Ia takut suaminya tambah kesal padanya, ia hanya menutupi tangisnya. Mengantarkannya ke bandara bersama kakak iparnnya dan istrinya yang baru pulang dari studynya di malaysia. Perjalanan menuju bandara terasa cepat dalam kebekuan. Hingga perpisahan itu tiba. Luthfi yang sedari tadi membungkam mulutnya berucap “Disaat seperti ini pun aku tak mendapatkan senyummu?”.    Tanya Luthfi sambil kedua tangan Naura. “Bagaimana  aku bisa tersenyum, ketika suaminku membiarkanku terbayang prasangka yang membuatku gelisah, bagaimana aku bisa tersenyum  karena ia akan pergi meninggalkanku tanpa meminta pendapatku” mata Naura berkaca penuh cahaya menatap wajah didepannya lalu ia menundukkan pandangannya mengecilkan suaranya. “Namun jika senyumku bisa menghalangi kepergianmu, aku akan melakukannya” . Naura menggigit keras bibirnya takut perkataannya menyakiti hati suaminya.  Luthfi hanya tersenyum kecil “ Ya udah”, mengarahkan wajah Naura agar melihatnya. “Gak usah dipaksain”. Luthfi menghela nafasnya lalu memeluknya “Maaf” . hanya kata itu yang keluar dari lisan tak selengkap apa yang ada dalam hatinya “Maaf aku tak bisa cerita Ra, maaf aku gak bisa nunda kepergian ini, aku terpaksa, sungguh aku tak bisa, maaf ra”. Langkah itu menjauh. Menjauh lalu tak terlihat. “Yuk” ajak Kak Ilma istri kakak iparnya untuk pulang. Entah kaki itu berat tak seberat sebelumnya. Kak Ilma juga kak  Fauzan mengetahui hal itu. mereka baru saja sebulan menikah, sudah harus terpisah jarak. Mungkin ini ujian buat mereka, batin kak Ilma menyahut santai. Naura menahan tangisannya. Mati-matian ia tahan tapi tetap saja ada yang tumpah. “Ra.... kenapa?”. Tanya kak ilma khawatir. “gakpapa kak” sahut Naura dengan suara seraknya.
Ia sampai di rumah, terburu-buru ia turun setelah berterimaksih telah mengantarnya pulang, karna memang rumah kakak iparnya tak jauh dari rumah. Masih satu kompleks  Perumahan Medali Indah. Naura mengunci pintunya erat dari dalam, dan tergulai lemas di pintu, mengucurkan tangisannya. Isakannya menjadi ia coba tutup dengan bantal namun tetap terdengar, ia tak memperdulikannya. Mobil kakak iparnya belum melaju kak ilma teringa kue milik adiknya itu. Sambil bertanya pada suaminya , “sebenarnya apa sih  yang terjadi mas”. Fauzan tak memberikan jawaban karena memang ia pun tak tau mengenai itu. mereka melangkahkan kaki ke rumah Naura, kak ilma menahan tangan Fauzan yang akan mengetuk pintu, karena terdengar isakan yang keras, yaa tak salah lagi terdengar dari arah pintu ini. Naura menangis keras. Pasti ia sangat sedih. Kak Ilma sangat iba dengan kondisi adiknya itu. “aku akan klarifikasi ke luthfi secepatnya”. Jelas Fauzan menanggapi dengan serius.
                                                                              ###
Sudah tiga hari Naura tak keluar rumah sekalipun, ada sesuatu yang ia tunggu. Luthfi belum menghubunginya, itu yang membuat hatinya kian perih menyesali perkataannya yang terkahir. Apa ia benar-benar marah?’ tanyanya dalam hati. Ia genggam handphone itu sedari tadi. Sambil mendengarkan suara luthfi yang merdu melantunkan Kalam Ilahi. Ia berusaha menyibukkan dirinya dengan pekerjaan-pekerjaan rumah yang ia ulang berkali-kali. Membaca mushafnya hingga ia terlelah. “Beginikah rasanya rindu, kenapa sesakit ini.” handphone yang berdering. Penuh harap ia menghampiri letak handphone itu. kak Ilma yang menghubunginya ingin ke tempatnya sekarang hanya memastikan bahwa dirinya ada di rumah. Selang beberapa menit Kak Ilma datang dengan suaminya. “kalian itu lucu, saling rindu tapi tak ada yang memulainya” ungkap Kak Ilma to the point ke inti permasalahannya, Naura keheranan dan terlihat ekspresinya di hadapan Kak Ilma. “kenapa kamu gak cerita sih Ra...?”. tanya Kak Ilma.  “Tentang apa Kak” tanya Naura. “Ya tentang masalah kalian” jawab KakIlma . Fauzan ikut mengambil pembicaraan “Kita sudah tau masalah kalian Ra, yang sebenarnya bukan suatu masalah. Mungkin hanya kurang komunikasi dan saling memahami, itu saja”. Fauzan memulai ceritanya,masa kecil Luthfi , cinta kecilnya, persahabatannya dengan Alvian hingga perdebadatannya sebelum pernikahannya. Semua penjelasan itu mengagetkannya.  Naura mengerti , ia mengerti maksud kata-kata Luthfi . ada sudut penasarannya terobati namun penyesalannya semakin menjadi. Naura terdiam , seperti bongkahan batu menghujani kepalanya “ aku ini jahat yaa kak, dia hujani aku dengan cintanya. Tapi aku malah berburuk sangka padanya”. Terang Naura dengan suaranya yang lemah. “sudah Ra, gak usah difikirkan. Kamu terlihat pucat sekali, ayo keluar . refresing , kita jalan—jalan sebentar biar gak kepikiran Ra”. Iya mbak sebentar, saya siap-siap dulu. Langkahnya baru selangkah keluar dari halaman rumah, Naura terhuyung jatuh .Kak Ilma panik melihatnya “ aku gak papambak, Cuma lemes aja. Aku gak jadiikut ya mbak. Istirahat aja di rumah”.  Naura berbicara dengan nafas yang tersengal-sengal. “Kamu sakit yaa... kita ke dokter aja yaa” tanya Kak Ilma waspada. Naura hanya menggeleng. “Luthfi belum telpon kak, mungkin dia marah yaa”. Naura tak mengontrol ucapannya, tubuhnya lemas dan kepalanya sungguh berat. Hingga pandangannya buram dan ia tergeletak hilang kesadaran.      
Kak Ilma dengan panik lalu bersama suaminya dan mengantarkannnya ke rumah sakit. lima jam Naura pingsan di ranjang rumah sakit. Tak sadarkan diri. Hingga datang tangan yang mengenggamnya saat dia pergi tiga hari yang lalu. Tangan yang sama,suara yang sama, . ia mulai tersadarkan. Mata itu mulai terbuka. “Luthfi...... kamu sudah pulang” sambil meraba wajah Luthfi memastikan  kehadirannya disisinya. “Aku gak pulang, karna aku gak akan pergi” jawab Luthfi. Ada senyuman juga air mata yang menetes. “aku minta maaf” Naura berusaha melanjutkan ungkapannya atas penyesalannya dengan terbata-bata. “Sstt” Luthfi menyela duluan. “Sudahlah, sebenarnya aku yang salah Ra, kenapa aku berfikir terlalu singkat bahwa aku takut kamu mengetahui, aku sangat mencintaimu, sejaak lama. aku takut cinta ini melebihi cintaku pada Allahh dan rasulNya. Aku takut sekali. Hingga mengungkapkannya pun aku tak bisa Ra. Tapi kata-katamu di bandara , membuatku tersadar , aku sedang menyakiti orang yang aku cintai.” Luthfi sambil tersenyum malu melanjutkan “seharusnya aku belajar tentang cinta sebelum aku mengungkapkannya kepada orang yang aku cintai. Belajar bagaimana Rasulullah selalu membahagiakan Istrinya. Saat di bandara itu, kakiku tertahan Ra, hatiku berat. Hingga aku menghubungi Ust. Saifullah menjelaskan masalahku dan beliau mengerti , aku tak jadi pergi. Aku pulang ke rumah namun aku mendengar tangisanmu yang membuat aku semakin tak enak hati. Aku menunggu di luar akhirnya aku menginap di kantor”.  Luthfi mencoba menlanjutkan ceritanya. “aku mencoba meminta solusi sama kak Fauzan, ia mau membantuku. Namun sebelum aku bertemu denganmu . kamu malah pingsan di jalan. Maaf yaa, Naura”. Naura meneteskan air mata kebahagian yang tertumpah sambil  tersenyum pada suaminya. “tak perlu takut, cintamu padaku melebihi cintamu pada Allah dan RasulNya. Sebab aku takkan pernah mengiizinkannya. Selama kamu mengutamakan cinta atas Rabbmu, akku akan selalu mencintaimu, setegar cintamu pada pemilik hati ini.” 
                                                                                  ###
Dekaplah cinta Rabbmu, sebelu engkau gengam cinta hambaNya. Karna, selama cinta engkau menjaga cinta Allah dalam hatimu, selama itulah cinta Allah bersamayam dalam hatimu, mengarahkan tanganmu, membimbing penglihatanmu, menuntun langkahmu,mengeja lisanmu, tertunduk dalam cinta-Nya. Saat itulah Allah berikan segala yang terbaik  untuk dirimu sebagaimana engkau berprasangka terhadap-Nya. Seperti Do’a ketulusan cinta mereka “Ya Rabb,..... hamba tak tau apa ini rahmat ataupun musibah. Hamba hanya berbaik sangka padaMu bahwa engkau akan mengganti dengan yang lebih baik disisiMu”. Berbaik sangkalah....... hingga cinta  datang padamu tepat pada waktunya.


avnie suhayla

Komentar

Postingan Populer