Antara Cermin dan perisai



Diantara Cermin dan Perisai

Dialah Cermin yang tak pernah berdusta
Dialah Perisai  yang tak pernah meronta
Jangan kau cela cacatnya serta buruknya pandanganmu terhadapnya
Mungkin karena buramnya cermin hatimu
Atau retaknya cintamu pada-Nya
Jangan kau kritis ia dengan kelemahan perlindungannya
Bisa jadi karena  jauhnya rangkulanmu padanya
Atau sama sekali tak pernah menghargai jerih payahnya

 Ialah Cermin yang tak pernah berdusta
“Jika kau mencari teman tanpa bercela, maka selamanya kau takkan pernah menemukannya”. Kata-kata yang menyadarkan diri bahwa, takkan pernah ada yang sempurna. Begitulah ukhuwah  yang menjadi sesosok yang penuh dengan cela menjadikannya bermakna. Mengenali kekurangannya bukan untuk menjauhinya, memahami ketidakberdayaannya bukan untuk  mengunggulinya, mengerti kelemahannya bukan untuk  menjatuhkan harga dirinya. Begitulah kiranya ukhuwah. Dihiasi dengan cermin keimanannya. Yang jika kita bercermin padanya lalu kita menemukan celanya maka sebenarnya kita telah menemukan kelemahan kita. Yang salah adalah ketika kita selalu menganggap sahabat kita, teman kita  memiliki cela yang mutlak dikhususkan untuk dirinya. Tanpa melihat diri kita,  tanpa bercermin melihat pada diri kita, dari segi apa kita melihat lemahnya dan kekurangannya.
Karena ukhuwah adalah cermin. Coba perhatikan letak cermin itu, apakah ia diletakkan terlalu tinggi dalam hatimu atau terlalu rendah dibawah kaki, hingga tak pernah kau temukan keunikan dari cela sahabatmu. Bisa jadi Karena tingginya hati dan kesombongan diri tak pernah mempersilahkan hati untuk memberi porsi yang pas dalam rasa persaudaraan yang hangat. Seperti Iblis yang memiliki cermin yang sangat tinggi dengan kesombongannya tak pernah mau ia bersujud kepada Adam seorang manusia yang terbuat dari tanah sedang Ia merasa mulia terbuat dari Api. Iblislah yang telah meletakkan cermin itu tinggi di atas kesombonganya. Jauh dan tak pernah terlihat bahwa kelemahan itu berasal dari dirinya.
Karena ukhuwah adalah cermin.  Coba perhatikkan bersihnya cermin itu, apakah ia terlihat buram atau bahkan sangat kotor, hingga  segala cela atau khilaf yang diperbuat terasa sangat menjengkelkan hati dan tak memberi ruang toleransi. Bisa jadi timbunan noktah dosa yang tlah memalingkannya yang mencegah hati berbicara jujur pada diri  bahwa bukan  ia , sahabatmu yang sebenarnya sakit. Namun hatimu yang sebenarnya sekarat ditelan noktah hitam dosa itu. Lalu mencegah diri untuk selalu bercermin pada saudaramu bahwa tak pernah ada cacat dalam dirimu.  Seperti Kaum terdahulu yang telah Allah adzab. Mereka mengotori cermin itu sendiri ketika datang kebenaran padanya lalu mereka mendustakan dan mengabaikannya. Sekali lagi coba periksa cermin itu, sebab ia yang akan memperkenalkanmu siapakah sebenarnya dirimu. Sebab Ukhuwah adalah cermin yang akan meninggalkan jejak-jejak kecintaan terhadap diri menjadi pilar-pilar kecintaan pada tangan yang berjabat.
Seorang gadis mungil berbando ungu berlari menuju rumah  kaca di sebuah taman bermain di sebuah kota. Karena tempat itu baru saja ditemuinya yang kaca di segala penjuru sudutnya ia pun terheran. Seseorang yang ia lihat di kaca mirip dengannya juga terheran melihatnya dan mengikuti gerakannya. Hingga ia marah dan bayangan itu mengikutinya. Ia semakin marah dengan bayangan itu karena ketakutan si gadis mungil itu berlari keluar dengan menangis ketakutan terhadap bayangannya sendiri yang sebenarnya adalah dirinya. Disuatu hari si gadis kecil itu mampir ke tempat bermain itu lagi, namun dengan suasana hati yang berbeda. Ia tarik bibirnya 2cm ke kanan dan ke kiri. Yaa ia tersenyum memandang bayangan cermin itu.  Ia terheran dengan reaksi bayangan itu yang juga tersenyum padanya. Hingga ia keluar dengan perasaan bahagia. Karena banyak bayangan pada cermin-cermin itu yang juga tersenyum padanya.
Dalam kehangatan bersaudara kita menemukan reaksi yang serupa dimana ketika kita bersifat negatif maka sekeliling kita akan berubah negatif  menirukan apa yang kita fikirkan dan lakukan. Namun sebaliknya ketika kita ambil sikap bersahabat meski dalam lingkungan yang baru. Memulai hari dengan senyuman dan dengan menebar kenyamanan serta keamanan maka atmosferpun akan mendukung, tanah pun menyambut dengan segala kebaikan-kebaikanmu. Sebab ukhuwah adalah cermin. Berbuat baiklah pada sesamamu, maka  terimalah kebaikan yang serupa. Jadilah makhluk kesayangan Allah dan juga kesayangan manusia di bumi.
Seperti sabda Rasul dengan keindahan bahasanya, “ازهد في الدنيا يحبك الله و ازهد فيما عند الناس يحبك الناس , Zuhudlah terhadap Dunia maka Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah dihadapan manusia maka manusia akan mencintaimu”.  Seperti Allah telah Allah gariskan kemulian yang lekat pada hambanya. Ketika ia berpegang teguh dengan tali petunjuknya dan menguatkan tali sesama saudaranya. Ikatan itu kuat yang menghindari seorang hamba terjerumus pada kehinaan dan kesengsaraan di dunia maupun di akhirat. Sebab hakikat cermin adalah menirukan dan menunjukan kejujuran apa adanya.
Ialah Perisai yang tak pernah meronta
Seorang mukmin adalah perisai bagi saudaranya dengan menjaga hak-haknya, kehormatannya, hartanya bahkan nyawanya . Tameng yang jitu atas niat kemasiatannya yang tiba-tiba terlintas  di benak saudaranya. Komandan yang hebat menyuarakkan kebaikan-kebaikan yang menyentuh hati sanubari saudaranya. Karena ukhuwah adalah perisai yang tak pernah meronta. Sekalipun tanpa diminta, ia akan selalu jadi perisai bagi saudaranya dimanapun berada.
Layaknya kisah ini begitu menghempaskan jiwa. “Berikanlah Qishas pada pemuda ini wahai Amirul Mukminin” jelas dua orang pemuda kakak beradik pada Umar bin khatab. Karena pemuda belia yang mereka bawa telah membunuh Ayahnya. Kisahnya pemuda belia ini sedang dalam perjalanan dan sampailah di kota ini. Secara tidak sengaja dan tanpa pengetahuan belia ini. Si kuda memakan rumput yang ternyata kepunyaan Ayah dua orang pemuda yang menyeret pemuda beliau ini pada Umar bin Khatab. Karena kesal Si Ayah memukul kepala Kuda hingga ia mati. Pemuda belia yang mengetahui kudanya mati dengan perasaan marah menghunus pedangnya pada Si Ayah. Meninggalah Ayah kakak beradik ini dan pemuda belia ini menyesal atas kekhilafannya. Setelah berunding dengan Umar ditetapkanlah Qisas untuk pemuda belia ini. Namun sebelum itu pemuda ini ingin menyelesaikan urusannya kepada keluarganya dan meminta waktu tenggang 3 hari untuk menyelesaikan urusannya.
Sang Amirul Mukminin tidak akan mengizinkannya sebelum ada jaminan atas kepergiannya, namun pemuda belia ini tidaklah memiliki saudara dan siapapun. Munculah keberanian dan kesholehan salah seorang sahabat menjadikan dirinya jaminan atas pemuda belia yang tak dikenalnya itu. Siapa dia, dialah Salman Al-farisi.
Waktupun berlalu, tiga hari waktu yang dijanjikan sudah akan habis. Si pemuda belia itu pun tak kunjung datang. Semuanya panik dibuatnya  para sahabat takkan rela kehilangan sahabat tercintanya demikian Sang Amirul Mukminin terlihat jelas raut mukanya penuh dengan kekhawatiran. Waktu telah habis, tiba-tiba muncul pemuda itu dengan berlari dan bercucuran keringat. Ia meminta maaf atas keterakhirannya datang karena masalah di kaumnya sangatlah berbelit dan unta yang ditungganginya terlelah di perjalanan hingga ia harus berlari jauh sampai ke Madinah. “Pemuda yang  jujur  dan bertanggung jawab’ gumam Umar dalam hati juga sahabat-sahabat lain. Maka munculah pertanyaan-pertanyaan mengganjal dalam hati umar atas sikap pemuda ini juga sikap Salman. Kenapa pemuda belia ini datang ke tempat ini bukankah ia akan mengakhiri ajalnya, kenapa tidak pergi saja dan ia akan selamat. Dan jawaban pemuda ini sangat luar biasa  sambil memberikan senyuman terikhlasanya “Sungguh jangan sampai orang mengatakan, tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum muslimin. Dan bagaimana jawaban Salaman ketika ditanya tentang kebersediaannya menjadi jaminan atas orang yang tak sama sekali ia kenal, yang mungkin saja bisa menipunya. Lalu jawaban Salman dengan ucapannya yang mantap “ Sungguh jangan sampai orang bicara bahwa tak ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang muslim”. Semua yang mendengarkan alasan itu takjub dengan jawaban keduanya dan bertakbir serta bertasbih keharibaan Allah Jalla Jalaaluh. Maka akan berjalanlah Qisas itu. Ketika telah datang Algojo dan telah disiapkan semuanya. Dua saudara yang mengajukan gugatan itu melarangnya dan memafkan kesalahan  Sang pemuda belia. Ketika ditanya kenapa. Alasan  mereka “Agar jangan sampai ada yang mengatakan, bahwa di kalangan Muslim tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati, dan kasih sayang”. Semua bertahmid memuji Allah. Air mata hangatnya persaudaraan tumpah ruah  serta mengharu biru.
Begitulah ukhuwah. Yang menjadikannya perisai tangguh tanpa diminta dan takkan pernah meronta. Bukan   kita yang meminta berindung di belakang saudara kita. Namun kitalah yang menjaga mereka lalu dengan selaras perasaan, mereka akan selalu menjaga kita. Menjadi perisai antara satu dan yang lainnya. Dari para sahabat kita belajar bagaimana cara menjadi perisai yang takkan menyakiti namun melindungi. Harga diri, kehormatan, harta, serta nyawa. Karena begitulah sejatinya ukhuwah. Yang selalu menggenggam tangan yang lemah, juga memandang tanpa pernah gelisah. Ialah cermin dan Perisai.
                                                                        ###

Komentar

Postingan Populer