Di bawah Rintikan Hujan
Malam ini tetesan
hujan berlimpahan, ditemani ributnya suara percikan, ditemani udara yang segar
, dan ditemani hati yang tak lagi gersang. Tetesannya memberkahi seluruh alam. Seorang
anak kecil berlari kesana kemari dengan girangnya, seorang mahasiswi keluar
dari kamarnya menikmati indahnya rintikan itu. Seorang pengendara motor dengan
serunya memelankan motornya, menikmati baju basah yang dipakainya. Seorang pedagang
yang menerobos hujan dengan gerobak dagangannya. Dengan beribu tahmid terucap
dari lisan. Ya Allah begitu indah kau ubah malam ini dengan rintikan
keberkahan. Ibukota memang sangat panas akhir-akhir ini. juga asap yang membuat
polusi di ibukota semakin menjadi-jadi. Entah berapa manusia yang merindukan
hujan. Bahkan sangat merindukan kesegaran itu . Dibawah rintikan hujan dan
tersinari lampu jalanan seorang gadis berdiri dengan payungnya yang sudah basah
menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Tak peduli ia dengan seseorang yang
ia tunggu, karna hujan telah membasahi rindunya. Meski telah lama ia menunggu
namun ia masih menikmati hujan yang turun dengan derasnya. , membiarkan rok
hitamnya yang basah dangan tangannya
masih melambai menyambut rintikan hujan yang masih deras. Kesyukuran batin
tertanam erat di benaknya. Teringat sebuah kisah dimasa kuliahnya tentang hujan yang mempertemukannya dengan
seseorang. Sore itu ketika mata kuliah telah dibabat habis dan ia hendak kembali
ke kosnya tiba -tiba hujan deras disertai angin yang kencang. Karna memang kala
itu saat-saat musim hujan dan memang
sering tiba-tiba hujan begitu saja tanpa mendung yang pekat. Berusaha ia
merapat ke tempat berlindung, sungguh bukan karana dirinya takut basah, namun
bukunya yang sangat ia takutkan jika kebasahan. Lembaran-lembaran itu sangat
berharga baginya. Lembaran yang mengajarkannya cara bersyukur dan cara beriman
kepada Sang Maha Cinta. Di perteduhan ia mengoyak-ngoyak tasnya berharap ada
payung atau kantong plastik yang bisa membungkus buku-bukunya. Dan hasilnya ia
lupa membawanya yang biasanya selalu ia bawa dalam ransel miliknya. waktu
menjelang magrib dan hujan masih deras, sedangkan ia harus cepat pulang sebelum
larut malam . sepertinya ikhwan disampingnya yang juga ikut berteduh ternyata
membaca kekhawatirannya . Karena tempat teduhan itu sudah semakin ramai
dipadati orang-orang dari semua kalangan. Dengan nekat ia ingin menyebrangi
deretan hujan, baru satu langkah berjalan seseorang menawarkan sebuah kantong
plastik putih besar yang ia bilang untuk melindungi buku-bukunya tersebut . meski
agak sedikit malu kantong plastik itu ia ambil dan ia taruh semua bukunya dalam
kantong plastik tersebut sebelum ia taruh lagi di tasnya. Dengan berterimakasih
sambil menunduk ia pergi menerjang badai hingga ia sampai di kost
kediamanannya.
# Masih dibawah rintikan hujan
Langit masih bergemuruh, hujanpun semakin
deras tak mengalahkanku untuk beralih dari tempat berdiriku, dengan kenangan
itu aku masih bertanya tentang siapa yang memberikan kantong plastik putih itu
padanya. Kenapa ia tau apa yang ada dipikirannya. ‘mungkin ia juga kuliah di
tempat yang sama denganku yang menganggap buku-buku lembaran itu sangatlah
penting’ bisikku dalam hati . tapi ya
sudahlah memang tak ditakdirkan bertemu kembali dan akupun tak tau orangnya. Tiba-tiba
payungku bergeser lebih tinggi, ada seseorang yang mengambil gagang payung itu
dari tanganku, sambil mendekatkan tubuhnya agar masuk dalam lindungan payung itu.
Ia seseorang yang aku tunggu sejak tadi.
Ia mengerti kalau aku sangat menyukai hujan , apalagi setelah sekian lama hujan
ini tak turun . ia lebih mendekat padaku ketika bahunya terciprat air dari
payung yang kukenakan. Namun dengan tatapan diam tak bersuara mungkin bisa
menjawab suasana hening saat itu . lalu ia membuka bicara
“ lagi nunggu siapa?” dengan tatapan menjengkelkan
, pura-pura tak tau dialah yang ditunggu sedari tadi. Baru bibir ini mau
menjawab ia balas dengan sebuah kata-kata yang mencengangkanku “ aku gak bisa
kasih kantong plastik lagi , soalnya lagi gak bawa”. Balas ia sederhana. Sekali
lagi aku tak bisa menjawabnya dengan tatapan yang heran “jadi , dialah suamiku
yang pernah dengan tulusnya memberika satu kreseknya untukku”. Masih dengan
mata yang heran terbaca bahwa aku ingin menanyakan hal itu. Sekali lagi ia
balas “sstt.... biarlah hujan yang menjawabnya pertanyaanmu , karna Sang Pemberi
karunia begitu indah melukiskan pertemuanku denganmu”.
Dengan senyuman ringan sambil dengan santai ia
membalas senyumanku . di bawah payung bertetesan hujan di cahayakan lampu
jalanan. Menjadi dalih bahwa ta’arufku dengannya belumlah sempurna dan takkan
sempurna sampai kapanpun.
Komentar
Posting Komentar