Untukmu yang Rindu Akan Kejayaan Peradaban Islam
Untukmu yang Rindu pada Kejayaan Peradaban Islam
Berabad-abad yang lalu ketika sebuah peradaban baru terlahir dari sebuah suku Jahiliyah. Seorang Rasul dibenarkan dengan segala mukjizatnya mempertaruhkan jiwa dan hartanya membela dan meninggikan kalimat Tauhid di sebuah perkampungan yang menjunjung tinggi patung-patung yang tak bisa berbicara. Islam terlahir kembali dari seorang buta huruf yang berkepribadian luar biasa, hingga terekam dalam sanubari setiap orang bahwa ialah ‘Al-Amin’. Seseorang yang terjaga selama hidupnya dari segala sifat kebinatangan dan kedustaan. Islam tersebar sedikit demi sedikit. Dari golongan yang sedikit ini, namun dengan keimanan yang melangit Islam berjaya. Membebaskan manusia dari penyembahan manusia terhadap manusia, menuju peribadahan manusia terhadap Tuhanya manusia, Sang Pencipta Sang Pemilik semesta raya.
“Sebai-baik zaman adalah zamanku”. Begitulah Rasulullah menjelaskan dengan lisannya yang tak pernah berdusta “Lalu zaman setelahku, lalu zaman setelahku”. Memahami stategi, membangun peradaban Islam haruslah berakar dari sini. Bagaimana cara ketika Rasulullah meneggakan Islam yang dibangun dari kepribadiannya yang luar biasa sebelum datang risalah kenabian. Lalu strategi dakwahnya baik secara sembunyi-sembunyi lalu terang-terangan. Strategi politik membangun peradaban baru di madinah. Sudah lengkaplah wacana ghiroh kesemangatan membangun peradaban dari memahami sejarah. Karena sejatinya sejarah bukan hanya mengajarkan bagaimana menghafal angka dan nama seseorang, namun ia merupakan wacana terbesar. Ilmu pengetahuan yang akan menyusun daya berfikir seseorang. Lantas memberikan nilai-nilai dan contoh yang baik, serta sikap yang tepat untuk sebagai bekal hidup (way of life).
Beruntunglah kita sebagai umat muslim, diperintahkan untuk mencontoh kepada Muhammad Rasulullah yang beliau adalah seorang manusia. Setidaknya tidak sesusah agama lain yang diperintahkan untuk mencontoh manusia setengah dewa, atau titisan Tuhan. Mengapa sejarah dianggap penting juga melihat bahwa kemunduran dan kemajuan sebuah peradaban itu bergantung pada dua hal. Kebanggaan terhadap peradaban itu sendiri juga keterikatan hubungan dengan peradaban di masa lalu.
Kebanggaan membuat setiap orang memiliki identitas diri lalu melahirkan sebuah kepercayaan diri. Akhirnya mengangkat derajat sebuah peradaban. Para sahabat telah banyak mengajarkan pada kita bagaiamana rasa bangga itu sendiri. Umar bin khatab yang baru saja merasakan indahnya Islam tlah membuktikannya. Ketika ia berkata pada Rasulullah dengan tanpa rasa takut dan gentar sama sekali untuk menyiarkan Islam “Rasulullah,..... bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?”. Rasulullah menjawab “Memang benar, Demi Allah hidup dan mati kalian dalam kebenaran”. Umar kembali bertanya “Kalau begitu, mengapa kita bersembunyi? Demi yang mengutus anda dalam kebenaran, kita harus keluar”. Kebanggaan Umar terhadap hakikat kebenaran Islam terarakar kuat dalam sanubarinya. Kebanggan yang dilandaskan dengan keimanan yang kokoh dihiasi keistiqomahan dalam ketaatan akan memunculkan sebuah ketenangan, optimisme dan keberanian yang membara. Semangat untuk berkarya dengan karya atau usaha yang nyata untuk meninggikan makna peradaban. Hingga munculah sosok pembela peradaban yang ahli di setiap bidang. Menaikkan makna peradaban Islam yang menglobal, menguasai keilmuan dan segala pengetahuan yang ada. Karna Islam bukan hanya bagaimana cara beribadah namun juga bagaimana mengurusi sebuah negara.
Kehilangan rasa bangga terhadap peradaban Islam akan menimbulkan dua sikap ekstrim yang perlahan menyurutkan nilai-nilai peradaban. Pertama: akan menimbulkan sikap meniru atau latah terhadap peradaban lain. Segala bentuk kehebatan yang diciptakan oleh bangsa lain menjadi sesuatu yang segar untuk dibicarakan. Contohnya ketika Barat datang dengan filsafahnya, meninggikan akal atas segalanya. Para pelajar tersibukkan dengan hal itu, terlena lalu terluupa pada warisan keilmuan yang luar biasa dari sebelumnya. Banyak yang menyaring filsafah barat itu sendiri seperti para ulama yang mengerti bagaimana seharusnya bersikap. Namun banyak para pelajar yang lantas mengambil filsafah itu sebagai pola pikirnya tanpa didasari oleh kaidah-kaidah Islam yang kuat terlebih dahulu. Lahirlah pemikiran-pemikiran yang merusak eksistensi bangsa dan menimbulkan aliran-aliran tertentu. Hingga kebanggan terhadap warisan keilmuan yang murni sedikit diminati oleh generasi selanjutnya, selanjutnya kemunduran minat ini menjadi akar kemunduran sebuah peradaban. Atau contoh mudahnya sangat terlihat saat ini. di mana banyak para pemuda senang meniru tanpa mengerti makna dari apa yang ia tiru, segala bentuk berita dan trend bisa diketahui hanya dengan duduk manis. Selalu merasa kurang update dan jadul jika tidak mengikuti trend itu.
Silau terhadap kejayaan modernisasi barat memotivasi Kemal Ataturk seorang perdana mentri Turki untuk mengganti arah kiblatnya menuju barat. Meniru dan mengambil paham sekulernya maka ketika sekulerisasi tlah menjalar sampai keakar-akar turki sehingga menghacurkan setiap senti peradaban Ustmani yang telah megah bertahun-tahun lalu, barulah ia menyadari bahwa kesialauannya adalah buah dari kebodohannya. Mengambil dan meniru tanpa mempertimbangkan adalah sesuatu bentuk hilangnya sebuah kebanggaan terhadap sebuah peradaban yang diadopsi dari sebuah asumsi pragmatis bahwa negara yang terlihat maju itulah yang harus diikuti.
Sikap kedua yang terlahir akibat kurangnya kebanggan terhadap peradaban itu sendiri adalah sikap sebaliknya yaitu terlalu menolak kenyataan bahwa pemilik peradaban terbesar di zaman ini adalah Barat dengan segala kemajuan teknologi dan riset-riset Ilmiahnya. Anti dengan segala yang datang dari barat. Termasuk penemuan-penemuan, menegement keilmuan yang baru ada di zaman ini. Selayaknya kita memahami bahwa kekhilafan Utsmani yang merupakan kekhilafan Islam terakhir sudah meredup sinarnya, ditandai dengan revolusi barat dan masa-masa kolonialisme yang membagi daerah Islam menjadi bagian-bagian yang kecil. Hingga hilang kekuatan untuk saling menguatkan dan bersatu. Diawali pada masa penjajahan membuat setiap negara sibuk dengan urusan kekacauan di negara sendiri. Jangankan membantu sesama negara Islam, masalah konflik dalam negri saja belum terselesaikan.
Propaganda “Islam fundamentalis” oleh Barat merupakan lagu lama kaum islamophobia. Alih-alih menciptakan keamaan bagi setiap negara dengan memunculkan nama Islam sebagai agama teroris yang sejatinya mengukung gerakan Islam untuk mengeksistensiakan dirinya kembali kepada kejayaan Islam di abad-abad silam. Syariat Islam yang indah namun sering disalahpahami oleh muslim itu sendiri sehingga menstimulus paham liberal barat masuk kedalam pemahaman seorang muslim terhadap agama Islam sendiri.
Barangkali kita bisa mengambil langkah-langkah yang sempat diambil oleh Barat untuk merebut kejayaan peradaban. Menggeruk semua keilmuannnya, menjadi ahli dibidangnya, mengislamisasikan keilmuan-keilmuan itu dengan paham ketauhidan yang benar. Seperti yang dilakukan oleh Orientalis. Namun jika mereka mencari cahaya dan meredupkannya. Tugas kita adalah mengembalikkan kecerahan cahaya itu.
Sikap anti terhadap barat yang menafikan segala bentuk kemajuan barat adalah sikap yang mengahalangi kita untuk berfikir maju ke depan untuk menguasai segala apa yang mereka kuasai hari ini dengan memahami jelas bagaimana awal mereka menguasai apa yang pernah kita kuasai dahulu.
Hal kedua yang menyebabkan kemunduran dan kemajuan peradaban adalah rekat atau renggang, tersambung atau terputusnya sebuah bangsa dengan perdaban bangsanya di masa lalu. Distorsi sejarah Islam setidaknya berhasil membuat ruh pengetahuan akan kejayaan di masa lalu sirna begitu saja, seakan pelajaran sejarah merupakan pelajaran yang sangat membosankan bahkan ketika mendengar nama itu disebutkan, hilanglah minat untuk mempelajarinya terlebih mendalami serta mengkritisi buku-buku sejarah yang banyak menyebar di masyarakat yang penuh dengan distorsi. Membuat sejarah semakin lama semakin nikmat untuk ditinggalkan. Sejarah hanya terfokus pada tanggal, nama-nama dan point-point saja. Hingga kita terlupa akan kuatnya usaha, derasnya niat yang mebakar dalam sebuah perjuangan.
14 abad sudah syariat Islam di junjung menjadi asas masyarakat muslim sebelum Barat mengumumkan demokrasi sebagai asas bernegara. Darah-darah para pejuang yang mengharap syahid di medan laga meneriakkan kemuliaan Islam. Perlu kita ketahui bahwa pada dasarnya pusat segala perjuangan adalah di atas namakan agama. Jangan pernah memandang maksud kolonialis menguasai dan menjajah bangsa Islam hanya untuk mengeruk kekayaan alam, sejatinya yang ingin mereka kuasai adalah tanah tinggal kita, namun perlahan dengan menguasai pola berfikir kita dan akhirnya kita terkendalikan. Begitu pula terkenalnya perang salib, atas seruan Paus untuk terus menggempur Islam. Dan sampai saat ini masih dalam tagline yang sama, menjadi agama sebagai sumber sebuah perjuangan. Meski kaum barat sendiri mengelak tentang hal ini. dan Isalam masih sajah di pojokkan.
Sejenak mari kita flasback, menguak kejayaan islam pada saat syariat Islam tegak melindungi setiap Insan. Melindungi hak-hak manusia juga hak-hak beragama. Di masa-masa kholifah Al-Manshur, Ar-rasyid, Al-Makmun dengan ribuan karya ilmiyah. Para kholifah agung tersebut menginginkan agar negara berdiri diatas fondasi kokoh ilmu agama dan ilmu dunia. Karena adanya keyakinan yang kuat bahwa sebuah negara tidak akan maju tanpa adanya ilmu pengetahuan. Penerjemahan kitab-kitab ilmiah dan penyebaran ilmu ke seluruh penjuru negri merupakan salah satu fokus kholifah saat itu. Tak heran jika upah para penggiat ilmu begitu tinggi. Menghasilkan sebuah eksperimen pengetahuan yang luar biasa di segala bidang, seperti kedokteran, anatomi, operasi, kimia, fisika, astronomi , imu bumi dll.
Itulah keemasan islam dengan peradaban yang memukau, muncul bersinergi dengan peradaban keilmuan yang nyatanya membangkitkan kemajuan peradaban itu sendiri. Selanjutnya mari kita melihat peradaban islam di Indonesia yang pernah memukau dunia dengan ulama-ulama Islam Indonesia yang berkancah internasional. Seperti Syeikh Nawawi Al-Bantani dari Banten. Syeikh Yasin Al-Fadangi dari padang, Syeikh Mahmud At-Tirmasi dari Pacitan dan yang lainnya. Munculnya ulama-ulama besar ini menandakan situasi kondusif dalam kancah keilmuan di Indonesia sebelum masa penjajahan. Menyebarnya pesantren-pesantren yang menjadi cikal-bakal ulama-ulama. Maka tak heran ketika pangeran Diponegoro meneriakkan sikapnya untuk membela tanah Jawa dari penjajahan yang ingin menguasai Jawa. Sang Pangeran yanng digelari dengan sebuatan Sultan Abdulhamid Erucakra Amirul Mukminin, Khalifah Rasulullah ing tanah Jawa ini berjuang atas nama Tauhid berperang mengusir penjajahan dari tanah Indonesia. Meski sering kita baca dalam buku sejarah di sekolah dasar sebab pecahnya perang diponegoro adalah hanya karna perebutan sepetak tanah.
Menurut M. Natsir ada tiga tantangan dakwah Islam secara menyeluruh. Yaitu Pemurtadan, Sekulerisme, dan Nativisasi. Pemurtadan/Kristenisasi yang sudah sangat terorganisir. Sekulerisme sebuah paham yang memisahkan agama dari segala hal termasuk bernegara dan Nativisasi yaitu sebuah gerakan mengikis dan menepis Islam dari percaturan peradaban di Indonesia dan mengembalikan kepada peradaban sebelumnya (Hindu, Budha dan Animisme). Tantangan inilah yang menjadi kendala awal yang besar untuk melanjutkan eksistensi peradaban islam di Indonesia. Namun itulah perjuangannya. Banyak yang mengartikan arti sebuah merdeka sebagai penghenti sebuah perjuangan. Padahal sejatinya ia takkan pernah berhenti namun belum pernah selesai.
Imam Malik pernah berkata“ Tidak ada yang dapat memperbaiki umat ini dengan apa yang dapat memperbaiki umat sebelumnya”. Begitulah semestinya, hikmah dibalik ayat-ayat Qur’an yang sejarahnya sering diulang-ulang. Kaum luth yang menyukai sejenisnya, ‘Ad yang sombong dengan arsitekturnya, bahkan di zaman musa yang terkenal dengan Fir’an yang menjadikan dirinya Tuhan, Qarun sang miliyarder sombong, Ba’lam ulama yang tersesat. Juga bani israil yang pesimis, dan terkenal sebagai kaum yang tak mentaati Rasulnya. Ashabul aikah, kaum tsamud dll yang terus diulang-ulang menandakan bahwa Allah ingin kita mengambil hikmah dari sebuah kedzaliman dan kefasikan yang dengan mudah Allah hancurkan kaum tersebut.
Bagaimana kita memandang Sholahuddin Al-Ayubi Sang Penkhluk Quds, pejuang Muslim yang namanya berkiprah hebat dari masa ke masa. Tentunya yang kita lihat bukanlah sosok yang kehadirannya tiba-tiba saja muncul dan menjadi pembela, namun jauh sebelum itu ketika timbul rasa kesadaran akan keterpurukan akibat semakin jauh dari nilai-nilai Islam, para ulama besar Al-Ghazali dan Abdul Qadir Djailani yang mempelopori sebuah semangat kebangkitan ulama dan keilmuan. Di rasakan kesadaran dan dukungan yang menyeluruh dari semua kalangan. Hingga munculah generasi yang sudah disiapkan setelah 80 tahun lamannya. Generasi emas itu bukan hanya seorang Sholahuddin Al-Ayubi namun juga dibarengi oleh para pendukungnya pasukan-pasukan siap syahid dengan keilmuan yang meluas. Memang benar proses menuju kebangkitan sebuah peradaban membutuhkan waktu yang lama, namun ia bisa terwujud jika ada keinginan yang sangat untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu kembali.
Layaknya pemikiran Al-Maududi perlu untuk dijadikan pertimbangan, bagaimana seharusnya sebuah negara madany itu. Al-Faraby juga seorang ulama dan ilmuan Islam juga berendapat tentang sebuah negara, bahwa negara akan menjadi baik jika pemimpiannya adalah orang yang baik, sholeh kuat dan amanah. Begitulah ia memandang pada saat zamananya yang tidak jauh dengan apa ada di zaman ini. Krisis sebuah kepemimpinan. Karna seorang pemimpinlah yang akan mencondongkan kemana negara ini akan dibawa. Diobral, dijual atau dikuatkan dan diperjuangkan. Selaras dengan pemikiran Al-Maududi yang merancangkan siyasah ( kenegaraan) dengan detail berabad lalu. Begitupun Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa amirul mukminin ada dua. Para pemimpin dan para Ulama. Maka hancurnya pemimpin karena hancurnya Ulama, hancurnya Ulama karena hancurnya masyarakat.
Awal sebuah peradaban dimulai dari nilai-nilai masyarakatnya. Bukankah Allah sudah mempertegas dalam Kalam-Nya bahwa Dia takkan mengubah kaum sebelum kaum itu mengubah keadaannya sendiri. Yusf Qordhowi menjelaskan bagaimana tugas Masyarakat Islam terhadap tata kehidupan Islami, sesungguhnya tugas masyarakat Islam adalah memasyarakatkan adab-adab Islami dan mendidik putra-putrinya agar memiliki adab-adab tersebut. Tugas mereka yang lain adalah mendidik murid-muridnya agar berakhlak Islami di seluruh jenjang pendidikan, sejak dari kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Serta menyerukannya kepada umat dengan segala pendekatan, metode, sarana yang mampu berpengaruh luas. Bekerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat di setiap lembaga yang ada seperti; masjid, stasiun televisi, penerbit, dsb. Sehingga terwujudnya kesadaran untuk membangun peradaban dan nilai-nilai Islam. Bagaimana mungkin kita membangun di satu sisi namun menghancurkannya di sisi lain. Sebagaimana di katakan oleh penyair “ Mana bisa bangunan bisa sempurna, bila kamu membangun, sedangkan selainmu merobohkan. Jika ada seribu pembangun satu merobohkan cukuplah sudah. Bagaimana jadinya jika satu membangun seribu yang merobohkan”
Ada berbagai macam perusak moral bangsa di zaman kita ini terkhusus Indonesia. Ketika satu kelompok berusaha memperbaiki namun ribuan yang merobohkan, tentu akan sangat berat dalam membangunnya. Sebuah kesadaran yang menyeluruh, inilah yang dahulunya dialami generasi Pra sholahuddin Al-Ayubi. Gerakan menuju manusia yang beradab dengan nilai-nilai Islam merata dalam setiap kalangannya. Memperbaiki tatanan yang ada disetiap sisinya. Di mulai dari system pendidikan yang di ambil kesimpulan oleh Ghozali sebagai akar kerusakan. Dilanjutkan dan didukung pola system ekonomi, militer, sosial dan budaya dsb.
Berawal dari keluarga yang Islami berusaha membentuk generasi Islami, menciptakan tata cara Hidup Islami, menokohkan pemimpin-pemimpin yang Islami disusul oleh syariat yang Islami maka terbangunlah peradaban Islam. Strategi membangun Peradaban Islam yang bisa kita terapkan di Indonesia, terlepas dari segala hambatan pemahaman yang berkembang dan juga sarana perusak. Peran control utama dalam pencetakan generasi adalah keluarga. Mengoptimalkan peran keluarga membentuk generasinya, juga sebaring memikirkan pendidikan terbaik untuk Indonesia. Layaknnya umat Islam menjadi seseorang yang ahli di bidangnya dan membuat program Islamisasi keilmuan, membuat arus besar agar makin banyak muslim yang memahami arti dirinya sabagai bagian dari aktor peradaban Islam.
Tata cara Hidup Islami inilah yang akan memunculkan keistimwewan Islam dengan ciri khasnya tersendiri (tamayyuz). Indentititas yang jelas sebagai seorang muslim yang susah untuk dikendalikan dengan pemahaman sesat dan tidak mudah larut oleh nilai-nilai bangsa lain hingga kehilangan kebanggan dalam diri. Dan tata cara hidup Islami juga menimulkan kesatuan amal, membentuk kehidupan kaum muslimin yang bersatu, meskipun tempatnya berjauhan, bahasanya berbeda juga keturunannya. Ia menyadai bahwa setiap muslim adalah bersaudara.
Dalam sebuah kelas siyasah (politik) saya bertanya pada seorang dosen, perihal bagaimana bisa para Ulama dan para pendidik juga penggerak dakwah terkadang tidak bisa berjalan dengan beriringan satu dengan yang lain padahal mereka mempunyai tujuan mulia yang sama hanya saja sarananya yang berbeda juga fokusnya yang berbeda. Beliau menjawab kurang adanya pemahaman dan semangat untuk bekerja sama dan kurangnya kesabaran untuk melewati setiap langkahnya, terbayang-bayang perubahan akan cepat terjadi. Sehingga setiap kelompok merasa fokus yang ia lalui akan cepat terlaksana, sedangkan zaman terlalu cepat berubah halangan dan rintangan semakin meradangbelum lagi bercabangnya tujuan setiap penggeraknya. Akhirnya bukan bekerja sama namun sama-sama bekerja.
Untuk terus berada di jalan sebuah perubahan memang membutuhkan tekad yang kuat dan semangat yang lekat. Seperti kita tahu bahwa menyiapkan generasi yang hebat itu tidaklah mudah. Melewati beberapa periode mungkin. Kita bisa mencontoh Daulah Utsmaniyyah. 49 tahun setelah Utsman bin Eturghul memulai mimpinya untuk menakhlukkan Konstatinopel, lahir al-Fatih generasi ke enam setelah para ghazi sebelumnnya membuka jalan dan mempunyai visi misi yang sama. Keinginan yang diwariskan dari masa-ke masa yang memimpikan menjadi komandan terbaik memperebutkan bisyarah yang telah disabda Rasulullah. “Sungguh Konstantinople akan ditakhlukkan oleh kalian, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menakhlukkannya”.
Selayaknya hari ini kita bisa memimpikan peradaban Islam yang begitu menawaan. Be a dreamer not just a dreamer but Visioner begitu kira-kira pesan Ust. Felix. Seorang Visioner takkan hanya bermimpi namun terus berusaha membuat suatu gerakan kemajuan di bidang-bidang yang ada. Karna asas dari peradaban itu adalah kualitas manusia yang ada di dalamnya. Seseorang pemimpin adalah gambaran dari masyarakatnya. Bangunlah wahai diri dari keterlenaan yang ada, jika dirimu sedih melihat keaadann yang ada, kerusakan yang merajalela, dan memimpikan sebuah peradaban Islam yang indah. Sadarlah bahwa diamnya dirimu hari ini takkan pernah menghasilkan apapun. Kata syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Abani “Jalan Allah ini panjang sekali, untunglah kita tak diwajibkan untuk sampai ke ujungnya. Kita hanya diperintahkan untuk mati di atasnya”. Dirimulah yang bisa mewujudkannya. Jadikan dirimu hamba kebanggaan-Nya dengan selalu berada dan meninggikan agama-Nya.
#binaperadaban #sspi #omahperadaban
Komentar
Posting Komentar