Belajar pada kehidupan


Kapan Belajarnya?


Menanggapi protes seorang teman yang hobinya adalah belajar. Rindunya akan buku-buku yang ia baca. Mengejar dan menggali segala ilmu yang dimiliki oleh semua Dosen favorit versi dia. Duduknya paling depan, ingin selalu bertanya. Ingin lebih tau banyak, dan serba ingin. Namun ternyata dia aktif juga berorganisasi. Semangat pula dalam berbagi, membantu sesama, membuat event besar yang dirasa bermanfaat bagi orang lain. Meski sibuk nilainya tetap tertinggi, ia merasa bahwa ketika ia menolong agama Allah, Allah pasti menolongnya, dalam ujian dan segala persoalan-persoalan hidup. 

Tapi ada yang hilang dalam benaknya. Sering kali ia protes pada dirinya sendiri. Terlihat dari tingkahnya. Ia terkadang dengan kesal dengan kesibukannya. Sesekali ia mengutarakan kegelisahannya. Ia rindu. Ia rindu akan buku-bukunya yang mengantri untuk dibaca, ia rindu keheningan  perpustakaan yang menggoda, ia rindu saat malam  menemaninya dengan segudang resume yang ingin ia buat. Segudang pelajaran yang ingin ia pelajari sendiri. Ia rindu belajar yang menjadi hobinya.

“Ada juga yaa orang seperti itu?” pikirku dalam hati. Seseorang yang menurutku terajin belajar mengeluhkan hal seperti ini. Jadwalnya yang terkurangi  membuat dia gelisah, padahal seluruh kesibukannya ia gunakan untuk pengabdian masyarakat. Padahal segala lelah keringatnya ia kontribusikan untuk dakwah, namun ia tetap merasa kurang.  “ Aku rindu belajar” peluhnya terdengar. 

Tak diragunakan semangatnya sebagai pembelajar. Motivasi yang tinggi untuk terus mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun ada yang salah dalam presepsi belajarnya. Yaitu apa yang maksud dengan belajar sesungguhnya. Apa hanya dengan menyendiri lalu melahap buku yang ia miliki. Apa hanya makna mempelajari kembali mata kuliah di kampus, merupakan arti dari belajar?. “Tidak” ia membalas. Yang ia inginkan adalah memperdalam jurusan yang ia miliki. Menghafal dan mencari semua referensi yang ia inginnkan. Ia menginginkan belajar ala salafus sholih yang pagi, siang, sore dan malam ia habiskan dengan belajar. Kembali terheran dengan sosok yang luar biasa ini. seseorang yang maniac belajar menurutku, terpukau dengan keinginannya. 

Sekilas kembali pada zaman terbaik. Yaitu di zaman Rasulullah. Jika kita melihat bagaimana bisa para sahabat memiliki keistimewaan yang sungguh luar biasa. Hingga tonggak peradaban tertumpu kegemilangan generasi ini.  Sayyid Qutub menjelaskan “Kehebatan mereka terletak pada semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal berupaya mengamalkannya”. learn to action, jelas saja generasi sahabat merupakan generasi terhebat. Bukan hanya teori dalam aplikasinya pun sungguh hebat.

Dia banyak melihat contoh  cara belajar, dan itu luar biasa. Namun keluhan kesibukan dalam rangka mengabdi pada masyarakat membuat langkahnya pada masyarakat sedkit megurangi feelnya atau ketulusannya mengorbankan aktunya. Ia lupa jika kita bisa belajar dengan siapapun. Dengan lingkungan yang memberikan banyak arti keidupan. Dengan setiap orang yang kita temui di jalan. Dengan setiap rapat yang kita hadiri. Dengan setiap kegiatan yang kita pegang. Kita bisa belajar dari seseorang berkomunikasi, kita belajar dari apa yang kita lihat. Bahkan kita bisa belajar dari setiap kesibukan yang ada. Minimal kita sedang praktek disiplin waktu dan memahami pentingnya waktu. Minimal kita bisa belajar dari seseorang yang berinteraksi dengan kita. Atau dengan sebuah kegagalan diri kita dan orang lain karena sebuah kecerobohan dan kelalaian. Kita kadang tak menyadari bahwa Allah telah mengajari kita sesuatu hakikat makna kehidupan ini. Tergantung  pada diri kita yang menghayati dan mengambil hikmahnya atau tidak.

Belajar dari ayat-ayat kauniyah-Nya merupakan hal yang sangat menyenangkan. Meresapi makna tasbih, mengarungi makna tahmid, memecah rasa takbir. Traveling menjadi obat yang nyata dalam kejenuhan dalam kesibukan. Mempelajari hal baru dan mencoba hal baru. Ini sebabnya traveling menjadi suatu sarana belajar yang menyenangkan.

Untuk Menjadi seperti generasi para sahabat dalam memahaminya ambil dengan beberapa sisi. Memahami kondisi masyarakat yang juga haus akan keadilan. Dan ini merupakan tugas mahasiswa sebagai penyambung antara pemerintah dan masyarakat. Memahami apa kebutuhannya, sambil mencerdaskan sesama mahasiswa dengan pemahaman yang benar terhadap hidup. 

Dengan pemahaman seperti ini, kita bisa bebas dalam menentukan waktu  belajar. Kapan saja dan dimana saja. Gunakan itu dalam mengamati sesuatu hal. Perlahan kita akan mengerti. Dan semakin mengerti. Lalu Kapan mau belajar?. Saat ini pun kita sedang belajar. Belajar dari tulisan sederhana ini. semoga bermanfaat. ^^  

Avnie suhayla

Komentar

Postingan Populer