Peradaban itu dimulai dari sini



Peradaban itu dimulai dari sini

Peradaban yang sering dibicarakan, diidamkan, diilustrasikan sebagai peradaban yang indah dengan istana-istana yang megah. Juga dengan air mancur indah dengan lampu warna-warni yang menarik. Taman-taman yang bertaburan bunga, tertata rapi,  memikat mata yang memandangnya. Begitukah peradaban? Sejatinya Peradaban yang sekilas mata memandangnya hanya sekilas pula menikmati kenyamanan. Tidak bagi peradaban kejayaan Islam, meski ia terlihat dengan istana nan megah pula, masjid-masjid dengan ukiran-ukiran cantik. Yang sekarang masih kita lihat dengan mata,  tapi bukan itulah peradaban yang sesunggunya. Peradaban Islam berakar dari nilai-nilai luhur. Nilai yang teratur indah, menjaga dan menenangkan yang bersumber dari Sang Maha Pengatur yang Maha mengetahui kebutuhan hambanya. 

Peradaban Islam terdiri dari nilai dan bukanlah dari materi. Kaum ‘Ad , Tsamud, Fir’aun, Haman, Romawi dan Persia. Bukti peradaban Materialistik dengan bangunan megah kekayaan yang berlimapahan namun kering dari moralitas . lalu bagaimana dengan Peradaban Islam  yang kaya akan nilai, lihatlah  Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Muhammad, Khulafaurr Rasyidin yang memberikan ketenangan bagi ummat dan rakyatnya, keadilan yang merata, kemiskinan yang tiada, kenyamanan bernegara. Sesaat ketika peradaan itu bersinergi dengan ruh-ruh keimanan, akan memunculkan keharmonisan dan perjuangan  keaadilan bermasyarakat. 

Dari manakah membangun peradaan Islam?. Dari sebuah keluargalah peradaban Islam ini di bangun. Bersatunya individu yang berpotensi dengan satu individu yang lain dalam sebuah proses pernikahan yang sah dan legal dalam Islam dan negara , menjadikannya satu misi dan visi,  memulai peradaban Islam berlandaskan kebenaran. Disinilah pusat peradaban itu dimulai, sarana merekayasa munculnya kepemimpinan dan kesalihan sosial agar dapat membina individu lainnya. Membendung tersebarnya potensi kemungkaran dan keburukan dan pastinya akan dapat menyatukan potensi-potensi kebaikan agar terberdayaka, tersalurakan dengan baik dan maksiamal. Upaya saling melengkapi dan menguatkan supaya menjadi pondasi yang kokoh. Dalam fitrah berpasang-pasang inilah Allah berikan kehidupan dan keturunan. Karena sesungguhnya Rasululah menyukai umatnya yang banyak dan sholih. Lantas mengukir nilai-nilai Islam  yang dituntun perlahan oleh Ilmu. Dengan mencari Imu sebanyak-banyaknya disertakan dengan pengamalan dari sebelum menikah hingga saat mengantarkan anak cucu untuk menikah. Begitulah urgensi Ilmu sebelum membina peradaban ini.

Itulah alasan Rasulullah diutus untuk umat-Nya di seluruh dunia. Bersama Khodijah yang tak curiga sedikit pun menerima keislamanannya, meski berbalik menjadi terhina, menjadi miskin dan terlunta. Tak apalah bagi mereka yang hanya mencari rdho Allah tanpa mengharap sedikit pun kebahagiaan dunia nan fana. Dari keluarga kecil ini, menjadi inspirasi bagi sekelilingnya, sanak saudara, rekan, teman dan para sahabatanya yang membangun awal peradaban Islam ini dengan seluruh tenaga mereka bahkan harta dan nyawa. Terbentuklah individu-indivu berkelas, bermoral, beradab tentu dengan iman yang mantap. Menyusun batu-bata peradaban hingga kita bisa gali sejarah kepahlawanan para sahabat dari segala usia yang mempunyai peran yang luar biasa. 

Adapun individu yang mantap dan berpotensi haruslah mengerti akan keilmuan jika ia ingin menjadi salah satu batu bata peradaban Islam, bukan sebagai penghancur peradaban. Ialah yang memiliki persiapan-persiapan sebelum menjadi batu-bata itu, adapun persiapan-persiapan sebelum pernikahan yaitu: 

1. Persiapan mental ( i’dad ma’nawy) yang mencakup persiapan kualitas diri dan perbaikan niat.

2. Persiapan wawasan/ keilmuan (i’dad ‘ilmy) YANG MENCAKUP ADAB/tata cara memilih pasangan suami atau istri, khitbah (melamar), hak dan kewajiban istri/suami, musyawarah, adab pergaulan sebelum menikah, larangan khalwat, dll

3. Persiapan materi (i’dad maly), yang mencakup: perencanaan keuangan pernikahan, mahar, kesiapan tanggung jawab menafkahi keluarga.

4. Periapan fisik ( i’dad jasady), yang mencakup: merawat kesahatan , kebugaran dan kebersihan tubuh.

5. Persiapan emosi ( i’dad ‘athify), yang mencakup ; latihan memahami dan memperhatikan , romantis dan ekspresif.

6. Persiapan administratif ( i’dad idary) , yang mencakup : memastikan surat-surat kelenkapan pernikahan, personal yng dilibatkan, undangan-undangan dll.

 

 

Setiap individu memiliki peluang yang sama dalam berbuat kebaikan laki-laki maupun perempuan. Setiap mereka yang mengerjakan amal sholeh Allah berikan ganjaran yang serupa. Ada sebuah rumus kesetaraan sebelum menjadi sebuah batu-bata pondasi peradaban. Dalam surat Al-Ahzab ayat 35, Allah menjelaskan poin-poin kesetaraan itu. Seperti yang banyak disebutkan dengan istilah sekufu, dalam firman-Nya Allah mencontohkan;

 

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan tetap dalam ketaatan, laki-laki dan permpuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banynak menyebut nama Allah, Allah tlah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yanng besar” 

 

Dari sinilah  10 indeks kesetaraan itu ada, yaitu ; keislaman, keimanan, ketaatan, kesungguhan, kekhusyuan, kedermawanan, merutinkan puasa, menjaga kehormatan, dan senantiasa berdzikir. Dalam membangun peradaban ini dibutuhkan sinergi seperti sebuah perlombaan balap sampan, dikayuh oleh dua individu yang berhadapan, haruslah sama-sama kuat jika ingin memenangkan perlombaan dan melaju dengan kencang namun bagaimana jika dikayuh kuat di satu sisi, tidaklah bisa maju kedepan, terlebih hanya berputar-putar saja di garis start. Begitu pula dalam berumah tangga, Menyamai atau menyetarakan keislaman dua individu yang sangat berbeda ini, sama-sama  terus memperbaiki rukun Islamnya, memperbaiki syahadat dan memiliki tekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik hingga taraf berikutnya dalam kesetaraan iman. Menyetarakan iman dan terus meningkatkan keimanannya menjelang atau dalam  pernikahan, mencari sarana-sarana untuk terus memperbaiki keimanan. Selanjutnya kesetaraan dalam ketaatan, dalam peran masing-masing, menjadi seorang hamba Allah, anak, istri/suami. Begitu pula dengan kesungguhan, sama-sama sungguh-sungguh untuk berjuang membangun peradaban, serasi dalam berderma, senantiasa menjaga kehormatan, menyukai  berpuasa,dan senantiasa lidahnya basah dalam berdzikir. 

 

Sebuah rumus sederhana pula Allah jabarkan dalam surat An-nur ayat 26 , “wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita yang  keji pula, wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk wanita yang baik pula”. Ayat ini menjelaskan sebesar usaha kita untuk menjadi baik  itulah yang akan kita dapatkan, meski dalam beberapa kasus seperti kisah para nabi dalam Al-Qur’an yang tidaklah seperti rumus diatas, namun bisa kita jadikan hikmah bahwa keimanan dan hidayah tak bisa  diturunkan ataupun diwariskan, yang asalnya hanya dari Allah. Tugas kita hanyalah berusaha sebaik mungkin, Dan mempercayai takdir Allah yang diberikan pada hambanya bukanlah takdir yang nyasar namun itulah yang terbaik untuk kita, diharapkan kita untuk selalu bersyukur dalam takdir baik, dan bersabar dalam ujian-Nya. Karna upaya-upaya itu Allah berikan untuk menguji hamba-Nya, mankah yang terbaik, manakah yang cintanya tulus pada-Nya.

 

Dalam bahtera rumah tangga akan didapatkan  jalanan yang berliku, duri yang tajam, tikungan yang terjal. Tapi situlah lahirnya rahmah,kebahagiaan yang datang dari pertolongan-pertolongan Allah.  Setelah sakinah dan mawaddah terbendung. Terlahir dari rekayasa cinta yang memberikan aura positif dalam kehidupan. Kenyataannya  bahagia itu diciptakan dan diputuskan seseorang. Maka tetaplah berbahagia meski masih sendirian berbahagialah dengan ketaqwaanseperti maryam dan yusuf, lalu ketika berkeluarga dan ditimpa musibah berbahagialah seperti Ayyub bersyukur terhindar dari istrinya yang dzolim, atau nabi Luth yang dihindarkan dari istrinya yang khianat. Jangan menunggu kaya lalu bahagia, tapi jadilah bahagia bagaimanapun keadaannya.   


Avnie suhayla   

Komentar

Postingan Populer