Ilmu dan Iman yang Sengaja Dipisahkann

Ilmu dan Iman yang Sengaja Dipisahkan


Peradaban manusia tak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Seperti Islam masa-masa silam dengan keilmuannya, lalu datang Yunani yang mahsyur dengan filsafatnya dan disusul Perdaban Barat modern dengan Sainsnya. Begitulah sebenarnya peradaban. Yang bertitik berat dengan ilmu pengetahuan. Maka inilah mengapa ayat yang pertama diturunkan adalah Al-Alaq 1-5 yang menghimbau manusia untuk membaca. Meneliti alamnya dan merenungi maksud dari penciptaannya.  Begitu  pentingnya ilmu pengetahuan Islam memberikan apresiasi yang besar terhadap ahli ilmu. “Apakah samaseseorang yang mengetahui dan yang tak mengetahui” (Az-Zumar:9). 

Sebagaimana pengakuan Franz Rosental yang menjelaskan akar peradaban Islama yang terbesar adalah dari budaya keilmuan: “There is no other concept that has been operative as a determinant of Muslim civilitation in all its aspects to the same extent as ilm”. Maka dari itu terjawablah  mengapa peradaban Islam kini melemah, karna hilangnya tradisi ilmu seperti yang dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu. Jika kita melihat sejarah, terbelalaklah mata kita melihat kemustahilan cara para Ulama mempelajari, meneliti, mengkaji dan mengajarkan keilmuan. Bagaimana mereka tak ingin kehilangan sedetik pun dari waktu hingga makan dengan kue yang sudah digiling agar tak perlu mengunyahnya. Bahkan ada dari Ulama yang dalam penelitian panjang memerlukan berbulan-bulan perjalanan dengan kaki hanya mencari satu hadits saja. Semoga Allah meridhoi langkau mereka.  

Kebudayaaan literasi yang sangat luar biasa di kalangan Ulama menyebabkan banyak buku-buku turats dari ilmu syariah sampai ilmu sains. Bahkan banyak para Ulama yang selama hidupnya memiliki banyak sekali buku. Jika dihitung dengan masa hidupnya sehari ia bisa membuat 9 buku membahas berbagai ilmu. Dan perhatian para Ulama kan ilmu ini sangatlah jelas. Terlihat dalam banyak kitab-kitab menjelaskan tentang ilmu. Dalam kitab hadits karya Imam Bukhori ra. Bab pembahasan tentang ilmu ditaruh setelah iman. Dan begitulah banyak di kitab-kitab lainnya.

Keilmuan tak bisa dipisahkan dengan Iman. Karna iman sejatinya tak dibangun atas dasar emosi dan imitasi namun ia dibangun karena adanya petunjuk (burhan) dan dalil (argumentasi). Untuk  mengetahui ini kita membutuhkan ilmu. Dan tanpa ilmu manusia takkan bisa mengexpresikan keimanannya dengan amal-amal yang disyariatkan. Maka dari itu ilmu dan amal bukan dua entitas yang saling menegasikan namun ia saling mengafirmasi. Inilah pertanyaan dahulunya sering ditanyakan oleh orientalis. “Mengapa Islam begitu maju dengan keilmuannya sedangkan ia bersama dengan keimanannya, namun di Barat ilmu takkan bisa berkembang jika masih ada agama yang mengatur?”. Dan dasar inilah adanya pemisahan antara agama dan keilmuan di Barat. 

Tapi Islam mempunyai dasar yang jelas. Syahadat sebagai syarat seseorang ingin masuk Islam  mempunyai arti yang dalam. Yaitu memiliki makan “Mu‘ayanah” kesaksian atas keesaan Allah. kesaksian yang berdasar dengan keilmuan. Surat Al-Imran ayat 190-191 menjelaskan hakikat dalam merenungi ciptaan Allah, hingga terbesit dalam hati kepasrahan dan ketundukkan bahwa manusia sama sekali tak bisa melakukan hal yang luar biasa ini yaitu penciptaan langit dan bumi. munculah sebuah kesimpulan bahwa apa yang Allah ciptakan bukanlah kesia-siaan dan manusia sangatlah lemah. 

Seorang ateis atau sekuler selalu mengukur sesuatu dengan apa yang bisa di  indra. Hal ini juga berkaitan dengan penyempitan makna sains itu sendiri.   Dahulunya Filsafat dan Sains memiliki konotasi yang sama. Yaitu seluruh kegiatan keilmuan yang melibatkan refleksi komtemplatif dann observasi experimen. Dan pemahan ini bertahan hingga abad ke 17. Penyempitan makna Sains menyebabkan antara filsafat dan sains ini terpisah. Sains yang artinya ilmu pengetahuan alam yang kuantitif dan objektif. Dan mempunyai dua unsur metode yaitu mathematics  dan measurement (bisa diukur). Mungkin kita mengetahui bahwa Sains adalah sebuah ilmu yang sangat objektif. Karna sesuai dengan peneletian-penelitian. Namun jika kita amati bahwa adanya rumus-rumus itu pun terlepas dari olah pemikiran manusia. Kita sama-sama mengetahui bahwa benda pasti jatuh ke bawah. Namun penemu teori gravitasi inilah yang memberikan kesimpulan dengan lisan sesuai pemahamannya. Demikian pula teori-teori yang lain.  

Agaknya Sains modern tak selalu mempunyai dampak baik pada kemajuan sebuah peradaban. Krisis kemanusiaan, Krisis Lingkuangan adalah dampak dari Sains modern yang sangat bersifat sekuler dan meterialistis. Sebab inilah banyak kritik terhadap Sains itu sendiri. Dari tahun 1950 beberapa cendikiawan, ilmuan dan saintis Barat melontarkan kritik terhdap sains modern, seperti Edmund Husserl, Paul Feyerabend, George Bragues, Carrol D.W, Hildebrand dll. Sains telah menghasilkan industri-industri mesin yang mengurangi fungsi kerja manusia. Maka taraf hidup masyarakat menjadi sangat rendah. Lalu apa yang salah? Akar masalahnya adalah ketika ilmu pengetahuan dijauhkan dari spiritual. Keagaamaan seseoranglah yang membuatnya sadar akan hakikat kehidupan ini. seorang muslim akan meneliti alam ini, lalu merenungkannya. Dan di konsep akhir ia bertasbih pada Tuhannya.   

Al-Faruqi menjelaskan (“Findings were meaningful only within the paradigm, paradigms were like social movements. And were influenced by social,politic, and economical factor. Maka sejatinya tak ada objektif pula dalam sains. Ia mesti dibingkai dengan world view para peneliti itu. Dan inilah yang salah pada pendidikan kita. Tak heran jika dulunya ketika kecil seseorang sangat yakin pada agama, namun setelah ia memasuki gerbang universitas ia menjadi ragu akan agamanya, bahka berani menggugat ulama atau konsistensi agamanya, karena ia diliputi oleh materi-meteri sekuler yang ada di dalamnya. Dan inilah yang miris dalam pendidikan di Indonesia. Dimana yang mendominasi adalah pendidikan dengan epistimilogi sekuler.

Sehubungan dengan ini digagaslah sebuah konsep dengan islamisasi Ilmu Pengetahuan yang sesuai dengan worldview Islam. Langkah-langkah untuk menggerakkan Islamisasi Pengetahuan adalah dengan menanam dasar-dasar world view dan epistemologi Islam. Untuk itu, pihak Universitas menawarkan mata kuliah terkait ini. cara lain adalah dengan cara memberikan pemahaman kepada mahasiswa sosiological dan political setting perkembangan sebuah ilmu. Dan terakhir adalah dengan cara revitalisasi dan rekonstruksi Ilmu Kalam dan Ilmu ushul Fiqh sebagai Basis Epistemologi dan Metodologi berfikir Islami. Yang terkahir dengan cara memberikan pencerahan kepada mahasiswa tentang kontribusi Ulama dan cendikiawan Muslim atas perkembangan Sains dan teknologi di masa silam.

Disebutkan bahwa untuk mengalami ini tentu sebuah usaha yang keras. Persoalan politik dan administratif, intellectual confusion, kurangnya SDM yang menguasai dua disiplin ilmu dengan baik, Captive Mind (pemikiran yang tersandara), dan menyebarnya virus Sekulerisme dan Liberalisme menjadi tantangan keras dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

Yang terpenting setelah kita mengetahui akar peradaban itu adalah bagaiman kita bersikap setelah ini. apa yang harus kita usahakan untuk memajukan bangsa kita, agama kita dan mengembalikan peradabann itu. semoga Allah  menuntut langkah-langkah kita agar  menjadi seseorang yang ikut andil dalam perdaban keilmuan ini. 

#Resume materi Dr. Nirwan Syarif Mnurung tentang Ilmu dalam prespektif Worrldview Islam

#SSPIIntermediet

Avnie suhayla 

 

       

 

 

Komentar

Postingan Populer